Saturday, February 27, 2010

Lelaki Awan II

Akhirnya pertanyaan masa kecilku terjawab sudah. Kenapa ayah dan ibu berkulit sawo matang tapi aku berkulit putih. Kenapa rambut mereka lurus tapi rambutku ikal. Kenapa mata mereka hitam tapi mataku coklat.

Akhirnya sekarang aku tahu kenapa waktu kecelakaan itu darahku tidak bisa di donorkan ke ayah maupun ibu. Kenapa tidak ada satupun dari mereka bergolongan darah setipe dengan ku.

Akhirnya aku tahu Tuhan… setelah dua puluh tahun. Bertepatan dengan hari ulang tahunku dan juga hari kematian ayah dan ibu. Kenapa Tuhan, kenapa harus aku?

Sudah kuputuskan. Aku akan cari keluargaku yang sebenarnya. Bukan karena keluarga yang selama ini bersamaku bukan keluarga yang sebenarnya. Tapi aku hanya ingin tahu seperti apa wanita yang dulu rahimnya pernah kutinggali. Seperti apa lelaki yang darahnya mengalir padaku. Apakah aku punya kakak atau adik. Apakah mereka mirip denganku.

Dan akupun menemukan keluarga itu. Sekarang dihadapanku ada seorang wanita setengah baya yang cantik mungkin ia ibuku. Seorang Lelaki yang lebih tua dari wanita tadi ia masih terlihat tampan, bisa jadi itu ayahku. Dan seorang lelaki muda yang sepertinya sebaya denganku dan warna matanya coklat seperti punyaku. Dia adik atau kakakku ya?

Aku bingung harus bicara apa. Untuk berdamai dengan degup jantungku yang kencang saja sudah sangat susah. Lalu wanita itu mulai bicara. Dengan suara seraknya yang bergetar. Diselingi batuk hingga kadang tubuhnya harus terguncang. Ya dia mengaku. Kalau dia adalah wanita itu, yang rahimnya pernah kutinggali. Dan ia pun mengenalkan. Lelaki muda itu sebagai kakakku. Ia sedikit tampak cuek tadinya, tapi sekarang tersenyum ke padaku. Oh kakakku yang tampan. Namanya Mas Riyan.
Dan sekarang saatnya aku berkenalan dengan lelaki pendiam itu. Ayahku. Ups ternyata aku salah ia bukan ayahku tapi ia adalah kakaknya ibu. Pamanku. Ibu bilang Mas Riyan biasa memanggilnya ayah maka akupun boleh memanggilnya ayah.

Ayah kandungku sudah pergi sejak lama. Ibu bercerita dengan wajah kaku waktu itu. Dari matanya ku tahu ia sedih harus bercerita tentang ayah tapi kesedihan itu tidak pernah meleleh menjadi air mata. Kesedihan itu diibiarkanya mengkristal dihati.
Ayahku pergi saat aku masih sangat kecil. Baru berumur satu bulan. Pergi begitu saja tanpa pesan. Dan setelahnya tak ada kabar sampai puluhan tahun. Sampai sekarang ketika ibu sudah berdiam dengan kesedihannya yang mengkristal di pusaranya. Dan meninggalkanku bersama lelaki awannya. Paman yang kupanggil ayah.

Itulah alasan ibu menyerahkanku kepada keluarga orang tua yang membesarkanku. Bukan karena tak sayang atau ingin menyingkirkanku. Tapi karena terlalu sayangnya ibu tak mau aku kekurangan. Bukan kekurangan harta tapi perhatian darinya. Karena waktu itu ibu harus mengurusi kakakku yang baru belajar berlari dan lelaki itu lelaki awan. Sementara ia harus tetap bekerja karena suaminya tak lagi ada. Aku maklum. Dan bisa menerima keputusanya. Toh aku malah punya dua keluarga. Walaupun sekarang ayah dan ibu angkatku sudah tiada.

***



Kehidupan baruku berjalan cukup menyenangkan. Aku, meski ditinggal kedua orang tuaku kini menemukan keluarga baru. Seorang ibu, seorang kakak, dan lelaki awan yang kupanggil ayah.

Pernah aku bertanya kepada ibu kenapa memanggil ayah dengan lelaki awan. Kata ibu, ia menikmati merawat lelaki itu seperti ia menikmati awan.

Lelaki itu kadang seperti awan badai kalau sedang mengamuk. Kalau ada yang melenceng dari jadwalnya, ada barang yang diletakkan tidak di tempat biasanya, kalau ada suara yang tak ingin dia dengar. Apa saja di lemparnya, dibantingnya, ditendangnya. Suasanapun seketika akan berubah gaduh dan suram. Ya seperti saat-saat badai.

Lelaki itu kadang seperti awan mendung. Begitu sendu menatapnya kalau ia sedang menatap senja. Rasanya ia seperti menunggu seseorang yan tidak pernah datang.Tapi tiap hari dia menunggu. Tak terlewat seharipun. Menunggu dengan begitu setia. Kalau lelaki itu sudah seperti awan mendung, kata ibu, gerimis akan segera datang kehati ibu. Tak jarang ia menangis menatapnya.

Tetapi lelaki itu kadang seperti pelangi. Warna-warninya menjanjikan keceriaan. Kalu ia sedang memberi makan ikan ia akan tertawa-tawa sendiri. Seolah ikan-ikan itu yang mengajaknya bercanda. Iya pun akan sangat suka membelai-belai kucing yang kadang meringkuk tidur di samping pintu. Kadang suaranya juga riuh kegirangan melihat koleksi vcd-vcdnya yang semua tentang hewan. Ya begitu ceria, polos, tanpa beban. Seprti anak kecil. Seolah-olah ia lupa kalau baru saja mengamuk didapur karena ibu salah jadwal, yang harusnya jus alpukat ter tukar dengan jus tomat.

Satu hal yang membuat ibu heran. Dia butuh waktu puluhan tahun untuk terbiasa dengan ibu. Untuk mengenal ibu dengan caranya. Untuk memahami bahwa ibu bukanlah ancaman atau gangguan untuknya. Untuk mengerti bahwa ibu adalah adiknya yang seharusnya dilindungi bukan dilempari sendok atau gelas. Tapi untuk dekat dengan mas Riyan dia tidak butuh waktu lama. Sejak mas Riyan lahir ia sudah suka pada mas Riyan. Ia akan pusing kalau mendengar suara mobil atau sirene suara air yang mengalir ke kloset dan suara apapun yang ia tak suka, tapi kalau mendengar mas Riyan kecil menangis ia malah tampak menikmatinya. Sejak mas Riyan kecil, sebelum tidur dia pasti menengok kamarnya, melihat apa yang Riyan lakukan tersenyum, lalu pergi tidur.






***
Akhirnya roda kehidupan terus berputar. Dan sekarang aku dan keluargaku sampai disini. Yang tersisa hanya aku dan lelaki awan itu. Ibu kandungku meninggal karena sakit. Dan mas Riyan pergi entah kemana. Menghilang seperti ayah kandungku meninggalkan ibu. Menghilang tanpa kabar. Terakhir yang ku tahu dia pergi ke pedalaman Kalimantan untuk penelitian tugas akhir kuliahnya. Sayangnya hutan tempatnya meneliti terbakar dan sejak itu aku kehilangan kontak denganya.

Biarlah sekarang aku bersama lelaki awan itu. Menikmatinya seperti menikmati awan. Seperti cara ibu .

No comments:

Post a Comment