Saturday, February 27, 2010

Lelaki Awan I

Seperti biasa sore ini dia duduk di kursi yang sama setiap harinya. Hanya duduk, dengan mata menatap ujung langit yang tak berujung. Entah apa yang dia tatap.
Ini pukul empat sore memang sudah waktunya.

“Allahuakbar… Allahuakbar…” suara adzan maghrib dari masjid ujung jalan. Dia masih tidak beranjak dari duduknya. Seolah-olah tak mendengar kalau ada panggilan Tuhan. Bukan hanya panggilan Tuhan yang tak dingengarnya, tapi suara apapun. Terus begitu duduk di kursi yang sama di ujung senja.

Sekarang pukul enam sore. Makanan sudah ku tata di meja makan sejak sebelum maghrib. Ini hari rabu sore berarti menunya harus sup ayam dan perkedel kentang. Semua sudah kutata seperti biasa. Dan lelaki itu segera menutup senjanya. Dia melangkah menuju meja makan. Berarti aku harus segera menghilang dari ruang makan.

“ prang… klontang…”
“ ahh… ahhh… sendok… sendok..”

Aku segera berlari ke ruang makan. Dan disana kutemukan pecahan piring berserakan di lantai. Apa yang salah? Oh ternyata sendoknya tertukar, bukan sendok yang biasa. Bagaimana dia bisa tahu padahal mirip sekali. Aku segera menukar sendoknya dan menghilang lagi dari ruang makan. Oh iya pecahan piringnya. Ahh nanti saja kalu dia sudah selesai makan. Toh diapun tidak peduli.

Aku menunggunya menyelesaikan makan malam. Memperhatikan apa yang dia lakukan dari dapur. Lelaki itu tampan. Kulitnya bersih. Rambutnya ikal lebat. Hidung mbangir dan wajah tirus. Mirip dengan ibu. Dan karena ibu mirip dengan mas Riyan maka ia pun selalu membuatku ingat mas Riyan. Ah mas Riyan…

Satu jam, itulah waktu yang ia habiskan di meja makan. Selalu satu jam, kalaupun meleset cuma sedikit. Tak pernah lebih atau kurang dari lima menit.
Sudah hampir jam 7 berarti ia sebentar lagi selesai.
Dan benarkan dia sudah beranjak dari kursinya.

Sekarang waktunya ke toilet. Aku harus bersiap-siap. Aku menghirup nafas dalam-dalam. Ya Allah kuatkan aku lagi malam ini.

Dia sudah keluar dari dalam toilet. Dan sekarang ia menuju kamar mas Riyan. Oh ibu… malam ini lagi. Lalu akupun hanya bisa tertunduk mendengar dia mulai gelisah… menceracau tak jelas, suaranya makin keras, sekarang ia berteriak-teriak. Membanting apa saja yang bisa dibanting dalam kamar itu. Mengacak-acak buku, menendang pintu lemari, melempar bantal dan guling ke segala penjuru sampai ia lelah sendiri. Lalu terisak menagis. Lelaki yang baru saja mengamuk membati buta itu menangis. Oh ibu pilu mendengarnya.
Andai saja waktu membuka pintu kamar mas Riyan ada di dalam pasti ceritanya akan lain. Dia pasti tidak akan mengamuk. Dia hanya akan menatap mas Riyan dari pintu melihat yang mas Riyan lakukan lalu tersenyum dan pergi.

Kini dia berjalan pelan, masuk kekamarnya dibagian rumah paling belakang. Dan pasti tidak lama lagi dia akan tertidur.

Dan aku pun akan menirunya. Kembali keaktifitas rutinku. Walaupun mungkin tak terjadwal per jam seperti dirinya. Pertama-tama membereskan meja makan. Oh piring yang pecah itu. Itukan kesayangan ibu. Oh ibu… aku segera menghapus embun diujung mataku. Bukan waktunya untuk cengeng.

Sekarang memberesi kamar mas Riyan. Karena kalau esok sore lelaki itu masuk lagi kamar ini harus rapi seperti semula atau dia akan semakin menggila ngamuknya.
Oaahhmm… belum ada jam sembilan tapi aku sudah sangat ngantuk. Padahal masih ada beberapa lembar naskah yang harus kuterjemahkan karena akan diambil pemiliknya besok pagi. Aku berjalan gontai menuju kamar. Ups aku lupa, toilet. Aku belum menyiram toiletnya.

Dia selalu begitu tak pernah mau menyiram toilet. Bukan karena dia malas. Dia hanya tak bisa mendengar suara air yang mengucur kedalam closet. Itu saja alasanya. Sederhana bukan.?

Satu tugas lagi. Aku harus masuk ke kamarnya memastikan dia baik-baik saja.
Ku lihat lelaki itu sudah meringkuk dibawah selimut. Ingin sekali aku membelainya. Memahami kebingunganya. Sebenarnya aku juga bingung dengan semua ini. Tapi karena kami berbeda kamipun menyikapi kebingungan-kebingungan ini dengan cara yang berbeda. Tapi aku tak boleh menyentuhnya atau dia akan jadi lebih liar dari tadi.
Aku menatap dinding di sebelah lemari pakainya. Untuk besok bajunya kaos biru, celana katun hitam, sarapan nasi goreng, makan siang cah jamur dan telur dadar, makan malam sayur lodeh dan tempe goreng tepung. Ada jus jambu untuk siang hari. Video yang harus ditonton National Geographic tentang kehidupan laut. Baiklah. Aku kembali kebagian depan rumah. Melawati taman kecil dengan kolam ikan di depan kamar lelaki itu. Ku lihat di pinggir kolam ada makanan ikan. Kuperiksa isinya, ternyata tinggal sedikit. Berarti besok harus beli. Aku tak mau jadwal mengamuknya bertambah karena makanan ikannya habis.

Lelahnya hari ini. Masih terbayang naskah-naskah yang harus kuterjemahkan. Tak ada pilihan lain selain berteman dengan kopi malam ini.

No comments:

Post a Comment