Saturday, February 27, 2010

Ketika Rindu Pada Seorang Guru...

"Assalaamu'alaikum ..."
"Good morning every body..."
"I am fine thank you, and You?"
"I'am very well thanks.."
"What day is it today?"
"Today is Sunday"
"What the date today?"
" Today is....."

Kurang lebih seperti itulah percakapan kami (dulu) dimulai. Disebuah rumah kecil sederhana disebuah ruang yang jika malam menjadi garasi, jika hujan menjadi tempat jemuran sementara, jika hari minggu pagi berubah jadi sekolah mini. Lalu setelah itu beliau akan menulis dipapan tulis tentang kosa kata-kosa kata baru...lagu-lagu baru...atau membagi fotokopian tentang materi baru...jika wajah kami terlihat letih atau bosan kami akan bermain mulai dari scrabble, menyanyikan lagu lucu...atau beliau akan menghibur kami dengan joke-joke aneh dan lucu...
lagu favoritku adalah.....
bangun tidur si ucok mandi...simatupang menggosok gigi pasaribu membantu ibu...si tepu tidur melulu..(dinyanyikan dengan lagu bangun tidur kuterus mandi...)
dengan logat dan wajah cerianya cukup untuk membuat kami tergelak...
setelah hari itu maka keesokan paginya aku akan jadi orang yang paling percaya diri dikelas...

beliau tidak hanya mengajari kami menghafal kosa kata atau grammar...
tapi juga..bagaimana semangat yang bisa menembus segala keterbatasan..
bagaimana kita harus membagi cinta untuk mendapatkan cinta yang lebih....
bagaimana memstansfer energi kebahagiaan kita hingga menjelma menjadi senyum di wajah orang lain
beliau mengajarkan kami bahwa sesungguhnya cerdas itu bukan dinilai dengan angka-angka tinggi di atas rapot tapi apa manfaatnya bagi orang lain

Ya Allah sampaikan rinduku padanya: sang motivator...
katakan juga aku membutuhkanya saat ini
setidaknya ijinkan ia hadir dalam mimpi...


tujuh tahun kami bersama aku berguru padanya...
walau sering aku "berkhianat" tapi beliau tetap tersenyum diatas vespanya...
sedih sekali saat harus mendengar lewat telefon dia pergi dibulan suci itu tanpa bisa hadir memberikan penghormatan terakhir atau minimal untuk merekam senyumnya dan menyembunyikanya dihati sehingga aku tak akan lagi kehabisan stok senyum suatu saat nanti....

Lelaki Awan II

Akhirnya pertanyaan masa kecilku terjawab sudah. Kenapa ayah dan ibu berkulit sawo matang tapi aku berkulit putih. Kenapa rambut mereka lurus tapi rambutku ikal. Kenapa mata mereka hitam tapi mataku coklat.

Akhirnya sekarang aku tahu kenapa waktu kecelakaan itu darahku tidak bisa di donorkan ke ayah maupun ibu. Kenapa tidak ada satupun dari mereka bergolongan darah setipe dengan ku.

Akhirnya aku tahu Tuhan… setelah dua puluh tahun. Bertepatan dengan hari ulang tahunku dan juga hari kematian ayah dan ibu. Kenapa Tuhan, kenapa harus aku?

Sudah kuputuskan. Aku akan cari keluargaku yang sebenarnya. Bukan karena keluarga yang selama ini bersamaku bukan keluarga yang sebenarnya. Tapi aku hanya ingin tahu seperti apa wanita yang dulu rahimnya pernah kutinggali. Seperti apa lelaki yang darahnya mengalir padaku. Apakah aku punya kakak atau adik. Apakah mereka mirip denganku.

Dan akupun menemukan keluarga itu. Sekarang dihadapanku ada seorang wanita setengah baya yang cantik mungkin ia ibuku. Seorang Lelaki yang lebih tua dari wanita tadi ia masih terlihat tampan, bisa jadi itu ayahku. Dan seorang lelaki muda yang sepertinya sebaya denganku dan warna matanya coklat seperti punyaku. Dia adik atau kakakku ya?

Aku bingung harus bicara apa. Untuk berdamai dengan degup jantungku yang kencang saja sudah sangat susah. Lalu wanita itu mulai bicara. Dengan suara seraknya yang bergetar. Diselingi batuk hingga kadang tubuhnya harus terguncang. Ya dia mengaku. Kalau dia adalah wanita itu, yang rahimnya pernah kutinggali. Dan ia pun mengenalkan. Lelaki muda itu sebagai kakakku. Ia sedikit tampak cuek tadinya, tapi sekarang tersenyum ke padaku. Oh kakakku yang tampan. Namanya Mas Riyan.
Dan sekarang saatnya aku berkenalan dengan lelaki pendiam itu. Ayahku. Ups ternyata aku salah ia bukan ayahku tapi ia adalah kakaknya ibu. Pamanku. Ibu bilang Mas Riyan biasa memanggilnya ayah maka akupun boleh memanggilnya ayah.

Ayah kandungku sudah pergi sejak lama. Ibu bercerita dengan wajah kaku waktu itu. Dari matanya ku tahu ia sedih harus bercerita tentang ayah tapi kesedihan itu tidak pernah meleleh menjadi air mata. Kesedihan itu diibiarkanya mengkristal dihati.
Ayahku pergi saat aku masih sangat kecil. Baru berumur satu bulan. Pergi begitu saja tanpa pesan. Dan setelahnya tak ada kabar sampai puluhan tahun. Sampai sekarang ketika ibu sudah berdiam dengan kesedihannya yang mengkristal di pusaranya. Dan meninggalkanku bersama lelaki awannya. Paman yang kupanggil ayah.

Itulah alasan ibu menyerahkanku kepada keluarga orang tua yang membesarkanku. Bukan karena tak sayang atau ingin menyingkirkanku. Tapi karena terlalu sayangnya ibu tak mau aku kekurangan. Bukan kekurangan harta tapi perhatian darinya. Karena waktu itu ibu harus mengurusi kakakku yang baru belajar berlari dan lelaki itu lelaki awan. Sementara ia harus tetap bekerja karena suaminya tak lagi ada. Aku maklum. Dan bisa menerima keputusanya. Toh aku malah punya dua keluarga. Walaupun sekarang ayah dan ibu angkatku sudah tiada.

***



Kehidupan baruku berjalan cukup menyenangkan. Aku, meski ditinggal kedua orang tuaku kini menemukan keluarga baru. Seorang ibu, seorang kakak, dan lelaki awan yang kupanggil ayah.

Pernah aku bertanya kepada ibu kenapa memanggil ayah dengan lelaki awan. Kata ibu, ia menikmati merawat lelaki itu seperti ia menikmati awan.

Lelaki itu kadang seperti awan badai kalau sedang mengamuk. Kalau ada yang melenceng dari jadwalnya, ada barang yang diletakkan tidak di tempat biasanya, kalau ada suara yang tak ingin dia dengar. Apa saja di lemparnya, dibantingnya, ditendangnya. Suasanapun seketika akan berubah gaduh dan suram. Ya seperti saat-saat badai.

Lelaki itu kadang seperti awan mendung. Begitu sendu menatapnya kalau ia sedang menatap senja. Rasanya ia seperti menunggu seseorang yan tidak pernah datang.Tapi tiap hari dia menunggu. Tak terlewat seharipun. Menunggu dengan begitu setia. Kalau lelaki itu sudah seperti awan mendung, kata ibu, gerimis akan segera datang kehati ibu. Tak jarang ia menangis menatapnya.

Tetapi lelaki itu kadang seperti pelangi. Warna-warninya menjanjikan keceriaan. Kalu ia sedang memberi makan ikan ia akan tertawa-tawa sendiri. Seolah ikan-ikan itu yang mengajaknya bercanda. Iya pun akan sangat suka membelai-belai kucing yang kadang meringkuk tidur di samping pintu. Kadang suaranya juga riuh kegirangan melihat koleksi vcd-vcdnya yang semua tentang hewan. Ya begitu ceria, polos, tanpa beban. Seprti anak kecil. Seolah-olah ia lupa kalau baru saja mengamuk didapur karena ibu salah jadwal, yang harusnya jus alpukat ter tukar dengan jus tomat.

Satu hal yang membuat ibu heran. Dia butuh waktu puluhan tahun untuk terbiasa dengan ibu. Untuk mengenal ibu dengan caranya. Untuk memahami bahwa ibu bukanlah ancaman atau gangguan untuknya. Untuk mengerti bahwa ibu adalah adiknya yang seharusnya dilindungi bukan dilempari sendok atau gelas. Tapi untuk dekat dengan mas Riyan dia tidak butuh waktu lama. Sejak mas Riyan lahir ia sudah suka pada mas Riyan. Ia akan pusing kalau mendengar suara mobil atau sirene suara air yang mengalir ke kloset dan suara apapun yang ia tak suka, tapi kalau mendengar mas Riyan kecil menangis ia malah tampak menikmatinya. Sejak mas Riyan kecil, sebelum tidur dia pasti menengok kamarnya, melihat apa yang Riyan lakukan tersenyum, lalu pergi tidur.






***
Akhirnya roda kehidupan terus berputar. Dan sekarang aku dan keluargaku sampai disini. Yang tersisa hanya aku dan lelaki awan itu. Ibu kandungku meninggal karena sakit. Dan mas Riyan pergi entah kemana. Menghilang seperti ayah kandungku meninggalkan ibu. Menghilang tanpa kabar. Terakhir yang ku tahu dia pergi ke pedalaman Kalimantan untuk penelitian tugas akhir kuliahnya. Sayangnya hutan tempatnya meneliti terbakar dan sejak itu aku kehilangan kontak denganya.

Biarlah sekarang aku bersama lelaki awan itu. Menikmatinya seperti menikmati awan. Seperti cara ibu .

Lelaki Awan I

Seperti biasa sore ini dia duduk di kursi yang sama setiap harinya. Hanya duduk, dengan mata menatap ujung langit yang tak berujung. Entah apa yang dia tatap.
Ini pukul empat sore memang sudah waktunya.

“Allahuakbar… Allahuakbar…” suara adzan maghrib dari masjid ujung jalan. Dia masih tidak beranjak dari duduknya. Seolah-olah tak mendengar kalau ada panggilan Tuhan. Bukan hanya panggilan Tuhan yang tak dingengarnya, tapi suara apapun. Terus begitu duduk di kursi yang sama di ujung senja.

Sekarang pukul enam sore. Makanan sudah ku tata di meja makan sejak sebelum maghrib. Ini hari rabu sore berarti menunya harus sup ayam dan perkedel kentang. Semua sudah kutata seperti biasa. Dan lelaki itu segera menutup senjanya. Dia melangkah menuju meja makan. Berarti aku harus segera menghilang dari ruang makan.

“ prang… klontang…”
“ ahh… ahhh… sendok… sendok..”

Aku segera berlari ke ruang makan. Dan disana kutemukan pecahan piring berserakan di lantai. Apa yang salah? Oh ternyata sendoknya tertukar, bukan sendok yang biasa. Bagaimana dia bisa tahu padahal mirip sekali. Aku segera menukar sendoknya dan menghilang lagi dari ruang makan. Oh iya pecahan piringnya. Ahh nanti saja kalu dia sudah selesai makan. Toh diapun tidak peduli.

Aku menunggunya menyelesaikan makan malam. Memperhatikan apa yang dia lakukan dari dapur. Lelaki itu tampan. Kulitnya bersih. Rambutnya ikal lebat. Hidung mbangir dan wajah tirus. Mirip dengan ibu. Dan karena ibu mirip dengan mas Riyan maka ia pun selalu membuatku ingat mas Riyan. Ah mas Riyan…

Satu jam, itulah waktu yang ia habiskan di meja makan. Selalu satu jam, kalaupun meleset cuma sedikit. Tak pernah lebih atau kurang dari lima menit.
Sudah hampir jam 7 berarti ia sebentar lagi selesai.
Dan benarkan dia sudah beranjak dari kursinya.

Sekarang waktunya ke toilet. Aku harus bersiap-siap. Aku menghirup nafas dalam-dalam. Ya Allah kuatkan aku lagi malam ini.

Dia sudah keluar dari dalam toilet. Dan sekarang ia menuju kamar mas Riyan. Oh ibu… malam ini lagi. Lalu akupun hanya bisa tertunduk mendengar dia mulai gelisah… menceracau tak jelas, suaranya makin keras, sekarang ia berteriak-teriak. Membanting apa saja yang bisa dibanting dalam kamar itu. Mengacak-acak buku, menendang pintu lemari, melempar bantal dan guling ke segala penjuru sampai ia lelah sendiri. Lalu terisak menagis. Lelaki yang baru saja mengamuk membati buta itu menangis. Oh ibu pilu mendengarnya.
Andai saja waktu membuka pintu kamar mas Riyan ada di dalam pasti ceritanya akan lain. Dia pasti tidak akan mengamuk. Dia hanya akan menatap mas Riyan dari pintu melihat yang mas Riyan lakukan lalu tersenyum dan pergi.

Kini dia berjalan pelan, masuk kekamarnya dibagian rumah paling belakang. Dan pasti tidak lama lagi dia akan tertidur.

Dan aku pun akan menirunya. Kembali keaktifitas rutinku. Walaupun mungkin tak terjadwal per jam seperti dirinya. Pertama-tama membereskan meja makan. Oh piring yang pecah itu. Itukan kesayangan ibu. Oh ibu… aku segera menghapus embun diujung mataku. Bukan waktunya untuk cengeng.

Sekarang memberesi kamar mas Riyan. Karena kalau esok sore lelaki itu masuk lagi kamar ini harus rapi seperti semula atau dia akan semakin menggila ngamuknya.
Oaahhmm… belum ada jam sembilan tapi aku sudah sangat ngantuk. Padahal masih ada beberapa lembar naskah yang harus kuterjemahkan karena akan diambil pemiliknya besok pagi. Aku berjalan gontai menuju kamar. Ups aku lupa, toilet. Aku belum menyiram toiletnya.

Dia selalu begitu tak pernah mau menyiram toilet. Bukan karena dia malas. Dia hanya tak bisa mendengar suara air yang mengucur kedalam closet. Itu saja alasanya. Sederhana bukan.?

Satu tugas lagi. Aku harus masuk ke kamarnya memastikan dia baik-baik saja.
Ku lihat lelaki itu sudah meringkuk dibawah selimut. Ingin sekali aku membelainya. Memahami kebingunganya. Sebenarnya aku juga bingung dengan semua ini. Tapi karena kami berbeda kamipun menyikapi kebingungan-kebingungan ini dengan cara yang berbeda. Tapi aku tak boleh menyentuhnya atau dia akan jadi lebih liar dari tadi.
Aku menatap dinding di sebelah lemari pakainya. Untuk besok bajunya kaos biru, celana katun hitam, sarapan nasi goreng, makan siang cah jamur dan telur dadar, makan malam sayur lodeh dan tempe goreng tepung. Ada jus jambu untuk siang hari. Video yang harus ditonton National Geographic tentang kehidupan laut. Baiklah. Aku kembali kebagian depan rumah. Melawati taman kecil dengan kolam ikan di depan kamar lelaki itu. Ku lihat di pinggir kolam ada makanan ikan. Kuperiksa isinya, ternyata tinggal sedikit. Berarti besok harus beli. Aku tak mau jadwal mengamuknya bertambah karena makanan ikannya habis.

Lelahnya hari ini. Masih terbayang naskah-naskah yang harus kuterjemahkan. Tak ada pilihan lain selain berteman dengan kopi malam ini.

Kepingan Memori Kebersamaan Kita Jilid 2

Tepatnya dua tahun lalu
Di suatu pagi
Di tanggal yang sama sembilan belas tahun sebelumnya
Aku di pertemukan denganmu untuk pertama kalinya
hp berdering… kuangkat… kali ini tidak biasa, bukan pertanyaan
“apa kabar?” setelah kau ucapkan salam
Tapi kau menyanyi meski hanya sepotong lagu
Kau menyanyikan lagu ulang tahun untukku
Ah… kau ada-ada saja …

Lalu beberapa bulan setelahnya
Di saat hampir semua orang mengingat ibunya…
aku pun ingin kau tahu kalau aku juga sedang mengingatmu…
jadilah ku telpon kau senja itu
meniru trik darimu kunyanyikan lagu bunda dengan suara cemprengku…
tapi setelahnya bapak malah memarahiku…
bertanya apa yang sudah kubuat padamu…
curang! bapak pasti tak pernah memarahimu jika kau membuatku sesenggukan merindukanmu


Ibu’
aku belum bisa seperti temanku yang rajin menghafal Al-Qur’an…karena ia ingin Allah memakaikan mahkota di kepala Ibu-Bapaknya nanti…
bahkan mengatakan I love You padamupun aku masih sungkan
aku masih membuatmu harus menunggu untuk mengenakan gaun yang sudah setahun lalu kau siapkan untuk menghadiri hari kelulusanku
bahkan mungkin aku akan mengingkari janjiku padamu untuk mendudukanmu bersama orang tua2 yang anaknya mendapat predikat cumlaude
aku masih belum bisa membuktikan padamu kalau: putrimu ini sudah besar ibu
sampai kau masih harus selalu mengkhawatirkan apa-apa yang terjadi padaku
sampai kau masih harus menelpon sahabat-sahabat dekatku untuk memastikan aku baik-baik saja disini
tapi kau masih mau menungguku kan ibu?
sampai aku bisa melunasi mimpimu tentangku?

Ibu’
Dulu saat kau bercerita tentang hidup sesudah mati
Kau bilang kalau semua dari kita akan dihidupkan lagi dengan usia yang sama
Saat itu berarti kita seumuran ya?
Tapi semoga saja nanti ketika saat itu tiba
Allah masih mengijinkanku memanggilmu ibu
Dan kita akan menjadi ibu beranak selama entalah aku tak tahu seberapa lama selama-lamanya itu…

Kepingan Memori Kebersamaan Kita

Doa-Chairil Anwar

Kepada pemeluk teguh,

Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu

Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh

cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk

Tuhanku
aku mengembara di negeri asing

Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling


"bu'...bu'... koq ada namaku dipuisinya? koq ada lilinnya"
"ha..ha.. iya..."
"boleh diganti pake nama rara bu'?"
"ha...ha... boleh"
"berarti nanti jadinya tinggal kerdip rara dimalam yang sunyi, ah bagus pake lilin nggak jadi diganti rara"

Dialog itu terjadi lima belas tahun yang lalu. Saat kau mengajariku mengeja puisi. Itu puisi pertama yang ku kenal. Dan kau yang mengenalkanya. Kita berlatih di malam hari agar kusiap diperpisahan kakak-kakak kelas enam nanti. Dan hari itu pun tiba. Kau mendandaniku dengan baju terbaikku. Warnanya merah jambu, bajunya berlapis-lapis, penuh renda, seperti baju peri-peri di TV. Itu baju kebanggaanku dulu. Tapi sayang aku ternyata belum bisa membuatmu bangga. Aku ketakutan saat bu guru memintaku maju di depan puluhan orang-orang dewasa yang tak kukenal.

"Bu'..." aku baru sampai dari sekolah. Mencoba bicara denganmu takut-takut.
"Apa?"
"Aku tadi lupa nulis nama di kertas ulangan agama..."
"Koq bisa? nti buguru nggak tahu itu kerjaanya siapa?"
"Habis aku lupa..."
"Ya udah sekarang balik kesekolah lagi sama ibu'"

Dialog itu terjadi empat belas tahu yang lalu. Setelahnya kau meninggalkan masakanmu yang belum matang, lalu kita melaju dengan sepeda jengki hijau kau memboncengku . Mengejar gerbang sekolah yang hampir tutup, hanya untuk melaporkan kepada bu guru kalau aku lupa menulis nama di kertas ulangan.

Pukul lima pagi.
"Bangun...bangun... hari sudah siang.."
Samar..samar terdengar kau bersenandung di balik pintu kamar.
Pukul lima lima belas.
Sekarang tanpa lagu hanya suaramu semakin melengking.
Pukul lima tiga puluh.
Sekarang tanpa kata-kata hanya pintu kamar yang berguncang meresahkan.

Aku ingin jadi putri kecilmu lagi...

Lelaki Ke Duaku

Untuk Lelaki Kedua ku

Kadang ketika mersa lelah bermimpi tentang diriku sendiri…
Atau ketika aku malah melangkah menjauhi mimpi-mimpiku
Aku beralih membuat mimpi tentangmu…

Prolog mimpiku selalu saja tentang kebersamaan masa lalu…
Yang jelas tak akan terulang lagi…
Dulu sekali rasanya
Saat kita berdua duduk dibawah pohon mangga…
Kau menggenggam stick coklat yang sudah basah ujungnya karena kau emut
Dan aku juga mengenggam sebungkus kacang kulit atau kadang ciki berhadiah duit
Saat itu kita berdua sama-sama menunggu dua orang
Dan untuk mengusir kebosanan kita memanggil setiap orang yang lewat dengan nama orang yang kita tunggu
kalau laki-laki kita panggil “bapak” kalau perempuan “ibu”
Kalau orangnya menengok kearah kita, kita hanya nyengir karena malu
Begitu terus sampai ada bis berhenti dan ibu kita keluar dari dalamnya
Atau motor yang melaju dari ujung jalan menampakkan wajah bapak kita

Atau kau ingat saat mati lampu?
Apa dirumah kita sekarang masih sering mati lampu?
saat itu kita pasti akan senang
Karena bebas dari ritual bernama “belajar”
Lalu kita akan menggelar tikar dihalaman
Mengambil bantal dan berbaring bersebelahan
Kadang ibu ikut duduk di tepian
Lalu kita pasti akan menyanyi
Dan lagu wajibnya adalah “bintang kejora”,
Ku pandang langit penuh bintang bertaburan… bla…bla.. bla…
selalu bintang kejora sambil menatap langit yang kadang penuh bintang atau kadang malah suram
"mbak lagi panen bintangnya.." serumu girang saat ribuan bintang menduduki langit
Lalu lagu “Indonesia tanah air beta….” Dan nati di bagian
“tempat belindung di hari tua…” kita akan menukik-nukikan suara merusak aransement musik yang seharusnya..
Setelahnya disambung lagu-lagu pop pada jamanya…
Ada Sheila on 7, Dewa, Padi dan sebagainya
atau lagu-lagu tentang ibu sambil sesekali kita melirik malu ke arah ibu

Itu hanya kenangan manisnya saja…
Jangan salah kenangan pahit diantara kita pun masih ada dalam ingatan..
Kau ingat perkelahian terparah kita?
Kita bergulat di kolong meja ruang tamu rumah mbah
Dan setelahnya kaos ku robek karena keganasanmu..
Begitu pula bajumu…
Jangan harap aku bisa lupa
saat kau membuatku menangis waktu mau berangkat sekolah
aku sudah hampir telat di pelajaran olah raga
Saat itu aku masih kelas empat SD dan terlambat sekolah adalah hal yang bisa membuatku panik luar biasa
tapi apa yang kau lakukan?
Saat sedang terburu-buru memakai sepatu didepan pintu
Dari arah belakang kau ayunkan pedang kayumu kepunggungku
Bugh… sakitnya…
Atau saat kau mengejekku saat surat cinta pertamaku dtemukan ibu?
Huuughh aku benar-benar dendam padamu karena sudah membuatku malu.

Atau saat kita saling pelit-pelitan saat punya makanan? Berebut oleh-oleh ibu’ saat pulang dari kondangan? Menjilati bumbu siomay langsung dari piringnya (yang satu ini harus diluar sepengetahuan bapak, atau kita kena marah), saling menunjukkan makanan yang sudah terkunyah didalam mulut untuk saling jiji’-jiji’an, saling meledek kalau satu dari kita dimarahi ibu, saling menggoda diwaktu sholat lima waktu... ah.. semua benar-benar sudah jadi masa lalu

Sekarang aku hanya bisa mendengar kisah-kisah tentangmu…
Menyimpan bangga sekaligus iri mendengar hafalan Qur’anmu yang semakin banyak
Menyimpan kagum sekaligus heran membaca status di fbmu…
Saat remaja-remaja seusiamu menuliskan tentang “someone-nya” atau kata-kata picisan tentang cinta yang kadang membuatku geli saat membacanya
Kau malah menuliskan tentang darah, perjuangan, jihad, palestina, Israel….Heh?

Ah lelaki keduaku setelah Bapak
Sekarang hampir sudah tidak ada waktu yang kita habiskan bersama, ya?
Apa kau juga menyimpan selaksa rindu untukku?

Sunday, February 14, 2010

My Academic Project

I have some academic projects to do. I am an English Literature student. My academic subject mater deals with culture and literature of English user country especially United Kingdom, United States, and Australia. So I need to understand completely about their life and history. And in this blog I'll try to write down a glance of their culture and literature. It will begin with their nowadays condition including their country, life style, economic, culture, etc and then I'll go deeper in explore their hystory and literature. Factually I just need to focus in their literature, however, to understand about that I can ignore their hystory and life.

I will started from Australia because the territory of it is nearest than the others from my country so I can get the reference easier. Hopefully I can finished my project completely and it will be useful for me and others. Ameen...

Let start it... Bismillaah