Friday, February 10, 2012

Sekolah Pintar Merapi: Dunia Kecil dengan Berjuta Inspirasi

Sekolah Pintar Merapi adalah rumah ke dua ku setahun terakhir. Semua berawal dari erupsi Merapi 2010 lalu. Beberapa mahasiwa berkumpul dan bersatu padu membuat posko mahasiswa terpadu yang terjun langsung sebagai relawan. Posko pertama bertempat di barak pengungsian Umbulharjo tepatnya di seberang (agak keselatan dikit) balai desa Umbulharjo lebih tepatnya lagi numpang di rumah Pak Suryadi warga yang juga aparat desa setempat. Karena keadaan semakin gawat pengungsi akhirnya kembali di ungsikan lagi kedaerah yang lebih rendah. Berkali-kali mereka dipindahkan sampai akhirnya terdampar di stadion Maguwoharjo. Sebagai relawan otomatis teman-teman mahasiwa juga mengikuti kemanapun pengungsi berada. Dan mereka membuat basecamp baru di salah satu rumah warga tepat di pojok stadion. Dan dari sanalah SPM lahir... (owek...owek...owek...).

Stadion Maguwoharjo menjadi pusat utama pengungsian meskipun banyak posko-posko pengungsian lain yang tersebar hampir di seluruh Yogyakarta. Ada sekitar 5000an manusia yang mencari tempat berlindung disana. Otomatis aktivitas para relawan sangat padat waktu itu semua kalangan terjun payung kesana membantu sesuai kapasitas masing-masing. Begitu juga dengan para mahasiswa mereka membantu dengan kompetensi masing-masing. Berhubung saya dan teman-teman sebagian besar dari kampus UNYIL (universitas negeri yogyakarta ikip lama) yang notabenenya para calon guru kami pun mencoba bergerak kearah pendidikan. Saat itu kami melihat banyak anak-anak yang bertebaran dan kurang mendapat perhatian. Mereka pasti bingung, takut, gelisah, galau, trauma dengan keadaan yang serba kacau. Akhirnya teman-teman berinisiatif mengumpulkan mereka dan mencoba menghibur mereka semacam memberikan trauma healing. Dan dari sana kegiatan yang ada semakin berkembang dan bervariasi kami pun semakin jatuh hati pada mereka. Bahkan sampai detik ini kami masih terjerat cinta mereka (halllaaah...)... lama kelamaan entah kenapa kami jadi merasa punya hutang masa depan pada mereka dan hal itu yang membuat kami bisa bertahan sampai sekarang. Banyak kisah yang terjadi antara kami dan kurcaci-kurcaci merapi dan kami semua sepakat merekalah inspirasi kami. Berikut ini secuil kisah tentang inspirasi dari dunia kecil kami yang bernama Sekolah Pintar Merapi.


Bertahun-tahun saya menobatkan diri bercita-cita ingin menjadi penulis. Saya ikut forum kepenulisan sejak awal kuliah. Saya juga telah mengirimkan puluhan tulisan ke media masa. Tapi ternyata Allah masih belum berkenan memajang nama saya dalam media massa manapun (hiks.. hiks.. hiks..). Setelah cukup lama vakum menulis semangat saya menulis muncul lagi di saat saya menjadi relawan Sekolah Pintar Merapi di Stadiun Maguwo Harjo. Entah bagaimana awalnya begitu banyak ide yang bermunculan untuk dijadikan tulisan saat itu dan say
ang jika disia-siakan. Dan mulailah saya menulis. Tulisan pertama saya terinspirasi dari orkes dangndut yang sering diadakan di Stadion Maguwoharjo. Meskipun mungkin niat diadakannya orkes itu ‘baik’, untuk menghibur para pengunsi yang pastinya dalam keadaan depresi dan jenuh karena berminggu-minggu berdesak-desakkan di barak pengungsian, namun dampaknya sangat membuat saya jengah. Karena orkes itu berlangsung sampai larut malam dan mengganggu pengungsi yang ingin beristirahat. Belum lagi biduanitanya yang berpakaian serba minim dan menyanyikan lagu-lagu percintaan. Dan yang paling miris adalah anak-anak pengungsi banyak yang ikut menonton dangndutan itu. Dari situlah saya menulis artikel dengan judul “Dangndut for Merapi Children”. Artikel dalam bahasa inggris ini saya kirimkan ke Koran Jakarta Post. Dan Alhamdulillah… artikel ini menjadi karya pertama saya yang di muat di media masa. Kejutan dari Sekolah pintar tidak hanya sampai di situ. Saya menemukan inspirasi lagi untuk menulis artikel lainya. Artikel tentang merapi selanjutnya yang berjudul “The Positive Side of Merapi Disaster” juga di muat di Jakarta Post akhir tahun 2010. Lewat Sekolah Pintar Merapi akhirnya my dream comes true… senangnya…

“Sayangnya” inspirasi dari SPM tidak bisa dihentikan dan terus menerus menyerbu...

Suatu hari di awal 2011 saya mendapat info tentang sebuah lomba puisi di internet. Tema lomba itu adalah “Give Spirit for Indonesia”. Dilatarbelakangi banyaknya bencana fisik maupun moral yang menimpa bangsa ini lomba itu diadakan. Dan lagi-lagi Sekolah Pintar Merapi memberikan inspirasi. Saya mengirimkan dua puisi yang semuanya terinspirasi dari kehidupan pengungsi di barak pengungsian.

Dengan modal dua puisi "Kurcaci-Kurcaci Merapi" dan "Biar Lara Melenyap" (bisa disimak di puisiku) saya mengikuti lomba. Dan hasilnya saudara-saudara puisi dengan judul “Biar Lara Melenyap” berhasil menjadi juara favorit tiga. Berita gembiranya lagi puisi tersebut di bukukan. Subhanallah ingin menangis rasanya. Penulis ecek-ecek seperti saya yang tadinya karyanya tidak ada yang dimuat di media masa manapun akhirnya bisa berkontribusi dalam menerbitkan buku. Buku antologi puisi itu judulnya Dalam Estuari Sastra yang di gawangi mbak Elanie Firdauza. Dan royalty penjualan buku 100% disumbangkan untuk korban erupsi merapi.

Dari Sekolah Pintar Merapi kami juga mendapat banyak saudara baru. Salah satunya sahabat-sahabat FSLDK Peduli yang bermarkas di UNS. Suatu ketika mereka mengadakan lomba poster yang bertemakan mitigasi bencana. Terus terang saya sangat tertarik meski seumur-umur belum pernah membuat poster. Dengan ilmu corel seadanya jadilah sebuah poster yang berjudul "Kontribusi Nggak Butuh Basa-Basi".
Nggak nyangka poster yang dikirim menjelang detik-detik penutupan lomba itu menang jadi Juara I. Dan akhirnya sebuah tropi bertengger di rak kamar saya. Usut punya usut peserta lomba posternya cuma dua orang ha...ha..ha... bisa dibilang menang tanpa lawan. Tapi tak apalah...


1 comment:

  1. najah untuk sekolah merapinya mbak cantiik XD jangan lupa follow back blgo ane yaakk

    ReplyDelete