Pagi selalu saja menebar gigil di dusun kecil itu. Menyebabkan tubuh meringkuk lebih bulat dan selimut menempel dikulit lebih rapat. Namun hal itu tidak berlaku untuk Mbah Ngatini. Sedingin apapun udara, segemetar apapun tulang-tulang rusuknya ia tetap harus meninggalkan rumah sepagi itu. Karena kalau tidak kambing-kambing di belakang rumah akan mengembik lebih kencang seharian nanti. Sudah sejak malam mereka berunjuk rasa kepada mbah ngatini karena kehabisan pakan. Rumput yang dicarinya kemarin pagi sudah ludes di mamah oleh dua ekor kambing yang ia pelihara. Kalau ia berangkat lebih siang tentunya ia harus bersaing dengan tukang ngarit lainya yang jauh lebih muda dan sebagian besar laki-laki. Ia tidak mau mengulang pengalaman mencari rumput didusun tetangga yang lebih jauh karena punggungnya tak sekuat dulu jika harus memanggul keranjang rumput dalam waktu lama.
Setelah menyeruput secangkir teh gula batu yang hangat, kakinya melangkah mantap menyebrangi pintu. Seperangkat peralatan telah tergenggam, sebilah arit di tangan dan tenggok bambu memeluk punggungnya. Ia terhenti sejenak saat melewati kandang kambing ditatapnya dua ekor kambing yang sedang meringkuk disudut kandang. Segaris senyum terukir di atas dagu tirusnya mempersamar guratan kerut yang sudah lama terpahat disana. Terbayang olehnya beberapa minggu lagi hari raya kurban. Artinya kambing-kambing itu akan berubah menjadi beberapa helai ratusan ribu. Dan ia bisa melunasi hutang beras diwarung si Sum di seberang kreteg* sana. Sisanya akan dibelikan anakan kambing lagi. Setelah cukup mendapat motivasi untuk menembus kabut beku pagi itu langkah mbah Ngatini semakin mantap. Daerah operasinya kali ini adalah lapangan desa. Ia lihat rerumputan disana sudah mulai tinggi waktu melintas disana sepulang mengunjungi cucunya di desa tetangga kemarin. Suasana dusunya masih sangat sepi, hanya mushola Al-Amin yang lampunya menyala dilihatnya jama’ah sholat shubuh yang hanya terdiri dari satu imam dan dua makmum disana. Artinya ia berhasil satu langkah mengalahkan pesaingnya dalam berebut lahan operasi.
***
Senja perlahan bergulir. Peranya kini digantikan malam. Kabut turun lebih cepat dari biasanya. Mbah Ngatini masih berjongkok didepan tungku meniup-niup ranting agar api tetap menyala. Selang setengah jam kemudian nasi diatas tungku sudah siap diangkat dan mbah ngatini pun segera mengambil centong dan piring. Tidak seperti kebanyakan dirumah-rumah lain mbah Ngatini tidak perlu membuat cawisan*. Nasi dan sayur langsung dipindahkan kepiring untuk disantap. Ia tidak perlu mewadahinya di periuk atau mangkuk karena tidak ada yang harus dilayani seperti dulu saat masih ada suami dan anak-anaknya. Ia memasak dari dan untuknya sendiri. Karena dirumah itu hanya ada dia dan dua kambingnya.
Mbah Ngatini duduk di atas dingklik sambil perlahan menyuapkan nasi berlauk sayur kluwih kemulutnya. Kalau saja malam itu sama seperti beberapa tahun lalu ia tidak akan semerana ini. Ia akan duduk melingkar di amben bersama suami dan dua anaknya, Maryati dan Prihatini. Mengerumuni nasi yang mengepul dan berbagi beberapa potong tempe. Namun Gusti Allah berkehendak lain. Suaminya meninggal enam tahun lalu karena demam berdarah dan anak-anaknya kini sudah ikut suaminya masing-masing. Maryati yang kini sudah memiliki dua anak tinggal di kampung sebelah. Dan Prihatini juga sudah memilih tinggal dengan keluarga suami. Untung mereka pindah tidak terlalu jauh. Mbah Ngatini masih bisa melepas rindu dengan cucu-cucunya dengan berjalan beberapa kilometer saja.
***
Malam itu lebih gelap dari malam biasanya. Anginpun bertiup lebih kencang. Sepertinya hujan akan turun. Mbah Ngatini terkantuk-kantuk mengakhiri dzikir ba’da isya’nya. Ia berjalan ke arah pintu untuk memastikanya terkunci rapat. Setelah itu tubuh rentanya dibaringkan diatas dipan tua kesayangannya.
Klutuk..klutuk…klutuk…
Suara hujan sudah mulai terdengar. Makin lama makin keras. Tapi aneh ini bukan hujan biasa. Suaranya bukan seperti air yang jatuh tapi benda keras. Mbah Ngatini juga merasakan keganjilan yang sama. Ia pun tak bisa terlelap nyenyak. Untuk menjawab rasa penasaranya ia menengok keluar lewat jendela.
Uhuk..uhuk..
Mbah Ngatini langsung terbatuk saat butiran-butiran abu yang diterbangkan angin menyerbunya. Ya abu, ini hujan abu. Memang sudah sejak minggu lalu warga desa membicarakan merapi. Kata orang-orang yang melihat berita di tivi merapi akan segera meletus. Tapi tidak ada yang aneh bagi warga desa itu mereka tidak panik dan tetap saja beraktifitas seperti biasa. Gunung merapi sudah seperti sahabat yang mereka kenal dengan baik selama bertahun-tahun. Hampir setiap tahun juga ada hujan abu seperti ini. Apalagi bagi mbah Ngatini seumur hidupnya sudah sering melihat merapi meletus. Memang dulu ia pernah kehilangan pakdenya karena letusan merapi. Tapi toh mau bagaimana lagi. Gunung merapi sudah terlalu banyak memberikan kebaikan dan sayang untuk ditinggalkan. Mereka sudah terlanjur memilih hidup disitu. Dan menggantungkan segalanya pada apa yang ada disekitar mereka. Bergantung pada tanahnya yang menumbuhkan padi dan suyuran untuk menyambung hidup. Bergantung pada pasirnya yang menjadi bahan tambang andalan untuk membangun gedung-gedung. Bergantung pada padang rumputnya yang menjadi makanan kambing dan sapi kesayangan. Jadi pergi meninggalkan desa adalah pilihan terburuk.
***
Esok malam suasana masih belum berubah. Malahan suara gemuruh dari dalam tanah semakin keras dan menggetarkan. Jalan-jalan desapun semakin ramai karena banyak mobil-mobil asing berlalu lalang. Katanya mereka datang dari kota untuk membantu warga desanya yang sudah mengungsi ke daerah yang lebih rendah. Hujan abu kemarin malam ternyata lebih dahsyat dari yang diperkirakan. Bahkan juru kunci yang selama ini dipercaya menjaga ketenangan daerah lereng gunung merapi dikabarkan meninggal akibat salah memperkirakan arah larinya wedus gembel.
Namun warga di desa mbah Ngatini masih beraktifitas seperti biasa. Meski desas-desus bahwa desa mereka berpotensi terkena semburan awan panas selanjutnya. Mbah Ngatini masih tetap mencari rumput dan membersihkan kandang. Karena kalau tidak kambing-kambing itu tidak jadi gemuk dan sehat pada saatnya dijual nanti. Apa lagi yang bisa diharapkan mbah ngatini untuk menyambung hidup selain kambing-kambing itu.
***
Malam berikutnya suasana desa semakin mencekam. Berita di televisi menambah kepanikan para warga. Tadi siang beberapa orang berseragam mengunjungi desa. Mereka memantau kondisi desa katanya dan kesimpulannya warga desa harus segera meninggalkan desa yang berjarak tujuh kilo meter dari puncak merapi itu. Radius bahaya merapi sudah ditetapkan sepuluh kilometer dari puncaknya. Sore harinya terdengar pengumuman dari Masjid Al-Amin bahwa warga akan di evakuasi malam ini juga. Truk-truk sudah disiapkan untuk mengangkut mereka. Tapi masih banyak warga yang enggan. Bukan karena tidak sayang pada nyawa. Mereka khawatir pada nasib sapi dan kambing mereka. Karena hanya itulah harta berharga yang mereka miliki. Dalam kondisi ekonomi sesulit ini apa lagi yang lebih berharga dari pada sumber penghasilan. Tanpa sapi-sapi dan kambing-kambing itu mereka akan jadi pengangguran.
Sore itu pengumuman untuk segera berkemas dan bersiap siaga meninggalkan desa telah disiarkan dari pengeras suara masjid Al Iman. Mbah ngatini juga mendengar pengumuman dalam bahasa jawa itu. Ia malah jadi semakin bingung. Apa yang harus dilakukannya? Kalau dia ikut mengungsi bagaimana nasib dua kambingnya. Hanya dua kambing itu yang dia punya. Dan dia mau dibawa kemana? Apakah anak-anaknya juga ikut mengungsi? Mbah Ngatini benar-benar bingung. Tidak ada yang bisa diajak rerembug untuk mengambil keputusan. Mbah Ngatini akhirnya memilih untuk bertahan. Ia akan menunggu anaknya. Ia percaya anaknya pasti akan menjemputnya kalau keadaan benar-benar bahaya.
***
Semua warga desa mbah Ngatini sudah naik kedalam truk. Pihak kelurahan sudah berhasil meyakinkan mereka untuk mengungsi. Lima truk pertama mengangkut ibu, lansia, dan anak-anak. Lalu bapak-bapak dan pemuda menyusul dengan truk yang lain. Beberapa warga yang memiliki kendaraan memilih naik motor untuk mengungsi.
***
Malam ini keadaan desa mbah Ngatini benar-benar senyap dan gelap. Tak ada lagi suara kentongan para peronda. Hanya suara kambing yang sesekali mengembik dan sapi yang melenguh. Tanah berderak semakin kuat. Suara gemuruhpun menambah galau suasana. Hanya satu rumah yang lampunya menyala. Sebenarnya mbah Ngatini juga gelisah tapi ia sudah tidak punya pilihan lain. Ia hanya bisa berharap salah satu anaknya akan datang menjemput. Mbah Ngatini mencoba menenangkan diri dengan menyebut-nyebut Asma penciptanya. Di sampingnya terdapat segelas teh hangat yang isinya tinggal setengah. Sudah dua malam ini ia tidak bisa tidur. Lelah ia membolak-mbalikkan badan diatas ambenya yang reot. Sesekali ia mengintip lewat lubang kecil didinding rumahnya untuk memastikan apakah kambingnya baik-baik saja. Lama-kelamaan tubuh tua itu menyerah juga iapun tanpa sadar tertidur bersandar pada papan rumahnya.
***
Mbah Ngatini sedang mencari daun singkong dikebun rumahnya untuk sayur hari ini. Sesekali batuknya mengguncang tubuhnya yang renta. Susah mendapatkan daun yang layak dimakan. Semuanya kotor karena debu abu vulkanik. Bahkan daun-daun untuk kambingyapun harus dicuci dulu agar mereka mau makan. Tapi mau bagaimana lagi hanya itu yang bisa didapatnya untuk makanan. Mbah ngatini akan merebusnya dengan dibumbui garam.
Baru saja mbah Ngatini hendak masuk kerumahnya tiba-tiba ia mendengar beberapa suara beberapa orang yang sedang mengobrol entah tentang apa. Mbah Ngatini mecari-cari dari mana asal suara. Serombongan orang tiba-tiba muncul dari balik pepohonan. Mereka semua bersergam. Mereka menunjuk-nunjuk kearah mbah Ngatini. Mbah Ngatini semakin kaget dan bingung. Merekapun mendekat. Salah satu dari mereka mengajak mbah ngatini berdialog. Ia meminta mbah Ngatini meninggalkan desanya. Mbah Ngatini menolak, ia kukuh tidak mau pergi dari desanya. Ia tak tega meninggalkan kambing-kambingnya. Hanya kambingnya yang ia punya dan setia menemaninya selama ini. Disaat anak-anak kandungnya tidak peduli akan kesepian dan ketakutannya. Toh Kalaupun ia harus mati karena tetap tinggal tak apa baginya. Sungguh ia rela dari pada harus meninggalkan kambing-kambingnya karena ia tahu betul sakitnya ditinggalkan.
Tubuh tua mbah Ngatini hanya bisa meronta saat orang-orang berseragam itu membopongnya paksa. Menaikanya keatas truk yang melaju meninggalkan desa. Meninggalkan kambing-kambing mbah Ngatini.
*Kreteg: Jembatan
#Serenade Ungu#
-Barak Pengungsian Stadion Maguwo- Akhir 2010
No comments:
Post a Comment