Tuesday, February 7, 2012

Rapor Kak Rara


“Assalaamulaikum… bunda.. bundaaa..”

Asa sedang asyik bermain dengan zozo bonekanya saat ia mendengar kakaknya datang. Asa menoleh kearah pintu sebentar, lalu kembali asyik mendandani zozo dengan dengan baju-baju bekasnya yang kekecilan.

“Wa’alaikumsalam… oo… anak bunda sudah pulang gimana rapornya?” Asa mendengar sahutan bunda dari dalam dapur.

“Tebak dong Bunda?” sekarang suara kak Rara kembali terdengar.

Meski tangan asa sibuk memakaikan baju ke Zozo namun ia menyimak pembicaraan kakak dan ibunya dengan penasaran.

“mmm… koq malah main tebak-tebakan sih? Anak bunda yang satu ini pasti dapet juara kelas lagikan?” bunda menjawab pertanyaan kak rara.

“Yup, bunda benar!” kali ini suara kak Rara lebih keras mirip suara presenter kuis.

“ Wah hebatnya anak bunda, sini bunda lihat rapornya.”

Setelah itu yang terdengar hanya suara tawa bunda dan kak Rara yang sibuk membolak-balik rapor. Mereka duduk berdua di sofa ruang keluarga. Bunda berkali-kali memuji kakaknya dan kak Rara pun tersenyum bahagia.

Asa mulai bosan bermain dengan bonekanya, tanpa sadar ia malah duduk termenung diantara mainanya yang berserakan. “Minggu depan giliran aku yang bagi rapor, nilaiku bagus tidak ya?” gumam Asa perlahan. Sebenarnya dia sedikit khawatir kalau nilainya tak sebagus kak Rara yang sudah SMP itu. Minggu depan adalah pertama kalinya asa menerima rapor. Ia baru saja masuk ke kelas satu SD awal semester yang lalu. Kakaknya selalu saja mendapat nilai bagus di kelas. Asa terpaut 6 tahun dengan kak Rara. Sejak SD sampai di SMP sekarang sering sekali kak Rara dapat juara kelas. Bahkan ia sering dikirim sekolahnya untuk mengikuti perlombaan. Mulai dari lomba cerdas cermat, pidato, baca puisi, menulis dan hapir semua perlombaan dimenangkan kakaknya. Makanya meja belajar kakaknya penuh dengan piala, sedangkan meja belajarnya hanya berisi buku-buku dan boneka. Asa mulai takut kalau nanti nilai rapornya tidak bagus. Ia takut tidak bias membanggakan ayah dan bundanya seperti Kak Rara. Apalagi teman-teman kelasnya banyak yang lebih pintar dari Asa. Dito yang selalu dapat nilai 10 saat mengerjakan soal matematika, Rena yang selalu percaya diri menjawab pertanyaan bu Guru dikelas, atau Lila yang sudah sangat lancar membaca. Sedangkan dirinya jarang mendapat nilai 10 paling bagus sembilan atau delapan, ia juga sering malu kalau harus maju kedepan kelas, dan membacanya kadang masih mengeja. Saking asyiknya melamun Asa tidak sadar bunda sudah berdiri didekatnya.

“Asa ayo mainanya segera dibereskan, sekarang makan siang dulu ya. Kak Rara sudah menunggu dimeja makan.”

Asa sedikit terkejut dengan kehadiran bundanya. Ia hanya mengangguk lesu lalu memasukkan mainanya kedalam kotak plastik. Selama makan siang bunda dan kak Rara masih terus membahas nilai-nilai rapor kak Rara. Asa hanya diam mendengarkan.

“Asa kenapa kok dari tadi diam saja?” bunda menyadari kalau ada yang aneh dengan Asa.

“Nggak apa-apa koq bunda.” Jawab Asa bingung. Ia tak berani menceritakan ketakutanya tentang bagaimana nilai rapornya besok.

Makan siang Asa hamper selesai ketika Lila memanggil namanya dari balik pagar.

“Asa… Asa… main yuk!” suara Lila yang nyaring terdengar sampai ruang makan.

Asa menatap bunda sambil berkata, “Asa boleh main ya Bun?”

Bunda tersenyum sambil mengangguk, “Tapi dihabiskan dulu makannya dan pulang sebelum jam tiga ya? Nantikan Asa harus berangkat TPA”

“Siap Bunda” jawab Asa girang. Masalah ketakutanya tentang nilai rapot mendadak terlupakan.

***

Seminggu sudah berlalu. Tak terasa besok sudah hari sabtu. Asa semakin merasa gelisah. Ia benar-benar khawatir akan nilai rapornya tidak bagus. Sebenarnya Asa bukan anak yang malas, ia belajar hampir setiap malam. Tapi tetap saja Asa tidak selalu jadi yang terbaik di kelasnya. Gurunya hanya memuji Asa untuk pelajaran kesenian. Asa memang sangat senang menggambar dan gambarnya selalu mendapat nilai diatas 8.

Hari ini hari Jum’at seperti biasa Asa dan keluarganya selalu menghabiskan waktu sore bersama. Ayah Asa biasanya pulang lebih awal dihari Jum’at. Sore ini mereka semua berkumpul di teras samping rumah. Ayah sedang membaca Koran, ibu tapik asyik merajut syal, sedang kakak Rara dari tadi senyum-senyum membaca majalah favoritnya, dan Asa juga ada disana dengan satu set alat gambarnya. Asa sedang menggambar spongebob salah satu kartun kesukaanya. Tiba-tiba Ayah mulai bicara.

“Besok hari sabtu ya? Waktunya Asa bagi rapor dong?”

Asa menoleh kearah Ayah. Dia sebenarnya malas membicarakan tentang bagi rapor. Ia takut mengecewakan Ayah dan Bunda kalau rapornya jelek.

“Ditanya kok malah bengong?” ayah kembali bertanya.

“I…iiya Yah, besok Asa bagi rapor.” Asa menjawab perlahan.

“Ayah, Bunda Asa boleh tanya?”

Ayah dan Bunda berpandangan, “Tentu boleh sayang, ada apa?”Bunda menjawab sambil tersenyum.

“Kalau..kalau besok Asa nggak dapat juara kelas Ayah sama Bunda marah nggak?” Akhirnya pertanyaan yang sudah seminggu dipendam Asa keluar juga.

Ayah dan Bunda kembali berpandangan, lalu mereka tersenyum. Ayah turun dari kursi dan duduk di sebelah Asa.

“Asa…” kata ayah sambil membelai rambut Asa, “Jadi juara kelas itu memang prestasi yang membanggakan. Ayah dan Bunda senang sekali kalau anak-anak Ayah dan Bunda jadi juara kelas. Tapi tidak semua orang harus jadi juara kelas. Bukan berarti kalau Asa tidak jadi juara kelas Asa bukan anak yang hebat, yang penting Asa sudah mau belajar. Asa tetap bisa jadi anak hebat dengan prestasi Asa yang lain. Misalnya dengan gambar Asa yang bagus-bagus, dengan jadi anak yang baik dan punya banyak teman, itu semua sudah bisa bikin Asa jadi anak yang hebat. Mengerti?”

“Jadi Ayah dan Bunda nggak marah kalau rapor Asa nggak sebagus rapor Kak Rara?”

Bunda menggeleng, “Asa nggak harus jadi juara kelas, yang penting Asa suda berusaha.” Kali ini bunda yang menjawab.

Akhirnya Asa sekarang jadi lega. Dia tidak khawatir lagi dengan nilai rapornya. Kalaupun dia belum bisa jadi juara kelas Ayah dan Bunda akan tetap sayang kepadanya. Yang penting dia harus belajar lebih giat lagi semester depan.

No comments:

Post a Comment